Kumandang adzan subuh memecah heningnya kegelapan malam, mengisyaratkan kepada para manusia yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya agar bangun dari peraduannya dan segera menjalankan kewajibannya terhadap Allah SWT. Kala itu aku masih meringkuk di kamar tidur berselimutkan kain sarung yang telah usang. Ku tutup telinga rapat-rapat dengan bantal namun kumandang adzan semakin keras terdengar bahkan semakin lama semakin ramai dan seolah bersahut-sahutan dari tempat yang satu dengan yang lainnya. Dinginnya udara pagi membuatku malas untuk bangun. Ya, pagi itu sangatlah dingain. Dingin sekali, bahkan dinginnya udara pagi itu seolah masuk dan menembus sampai ke tulang sumsumku. Selain itu mataku pun sangat berat aku buka mungkin mata ini terlalu lelah karena semalam aku tak bisa tidur. Kejadian kemarin di sekolah membuatku benar-benar malu.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara yang tidak lagi asing ditelingaku. Beliau menyuruh agar aku segera bangun. Dia adalah ibuku yang selalu membangunkanku dikala aku sedang malas. Ibuku yang selalu mengingatkanku dikala aku lalai dari kewajibanku sebagai muslim.
“ Ya Bu, Roni bangun.” Seraya ku rapihkan balai bambu berlapis kasur tipis hasil buatan bapakku dan segera aku mandi dan sholat subuh.
“Bu,……..!” Panggilku ragu. Ku dekati ibu yang sibuk menggoreng pisang kepok hasil kebun kemarin.
“Ada apa Ron, kamu sudah sholat subuh?”
‘Sudahlah Bu, Si Hitam juga sudah Roni kasih makan.” Si Hitam adalah panggilan untuk kambing kesayanganku. Kambing itu adalah satu-satunya harapanku untuk membantu biaya ujian sekolah nanti.
“Bu, Ibu sudah beli celana abu-abu untuk Roni?” Tanyaku pelan sambil memasukkam kayu bakar yang mulai menggeliat ke luar tungku.
“Roni malu, kemarin teman-teman dan guru bertanya ko tumben baju Roni ga dimasukkan, biasanyakan Roni selalu rapi. Roni bilang aja untuk nutupin jendela yang terbuka.” Lanjutku dengan suara yang semakin pelan. Ibu hanya tersenyum mendengar cerita anak tercintanya yang sudah beranjak remaja itu. Namun di sudut hatinya terasa sangat perih melihat kenyataan bahwa ia tak mampu memenuhi semua kebutuhan putranya.
“Belum Ron, tadinya Ibu mau menjual pisang kepok ini, lumayan untuk tambahan hasil penjualan emping minggu lalu, tapi lihat hampir semua busuk terkena kimia! Sisanya ibu goreng untuk sarapan pagi.” Kata Ibu sambil memperlihatkan belahan pisang kepok yang menghitam dan mengeras.
Orang-orang di kampungku hal ini diakibatkan oleh kimia. Tapi, aku sendiri bingung apa hubungannya pisang kepok sama kimia, guru kimia di kelasku saja belum pernah menjelaskan fenomena ini.
”Doakan ibu ya Ron, semoga hari ini bapak dan Ibu dapat rezeki untuk membeli celanamu!” Lanjutnya
“Amin… Ya sudahlah, kalau begitu Roni rapatkan dengan peniti saja”.
≈ * ≈
Di sekolah, ketika waktu istirahat hampir seluruh siswa keluar dari kelasnya masing-masing bak sekumpulan bebek yang sedang digiring ke luar kandang untuk mencari makan. Ada yang ke kantin, ada yang berkumpul di teras kelas sambil bergurau, dan ada pula yang memilih tinggal di dalam kelas. Aku sendiri lebih memilih berdiskusi di dalam kelas bersama beberapa temanku.
“Ke kantin yuk Ron!” Ajak Riko
“Nggak ah malas, mendingan belajar kan bentar lagi kita ujian” Jawabku sambil membuka buku soal yang aku pinjam kemarin.
“ Alaah… rajin banget, stress nanti. Rilekslah sebentar!” Sahut Aldy sambil menutup bukuku yang baru saja mau kubuka.
“ Iya banding di kelas sumpek mending di kantin banyak makanan, emhh enak” Sambut Adam yang doyan makan. Sampai-sampai hingga perutnya seperti ibu yang sedangf hamil sembilan bulan.
“ Ah kamu Dam tahunya cuma makan. Kamu tahu nggak, makanan di kantin itu banyak yang ga sehat. Ada yang mengandung pengawet dan pewarna yang berbahaya. Apalagi minumannya,,, emang kamu kira itu jus buah murni. Bukan Dam! Minuman di kantin itu pake perasa buah, pemanisnya bukan gula, pake pengawet sama pewarna sintetik. Ih takut…!” Jelasku menakuti Adam.
“ Lah kamu Ron, so kimiawan. Bilang aja nggak punya duit!” Cetus Riko. Kami semua tertawa bersama. Riko sangat tahu bahwa aku jarang sekali membawa uang jajan ke sekolah. Tawa kami terhenti ketika Udoh berlari kecil mendekati kami.
“ Ron dicari Bu Septi tuh tadi!” Kata Udoh sambil mengatur napasnya yang berantakan karena habis berlari.
“ Ditunggu sekarang di kantor, cepet sana!” Lanjutnya lagi. Aku langsung pergi ke kantor menemui Bu Septi. Ia adalah guru kimia satu-satunya di sekolahku.
“Permisi Bu, Ibu memanggil saya?” Tanyaku
“Iya…..” Jawabnya sambil menganggukkan kepala. Tangannnya sibuk membuka helaian kertas yang sepertinya surat. Tapi, entah darimana surat tersebut.
“Ada apa ya Bu? Tanyaku lagi.
“ Ini, sekolah mendapat surat dari UNTIRTA Teknik Cilegon, bahwa jurusan Teknik Kimia akan mengadakan lomba cerdas cermat seputar kimia dan karya ilmiah remaja”. Jelasnya.
“Lomba, terus sayanya mau ngapain Bu?” Tanyaku agak sedikit heran.
“ Ya Ibu menawarkan kamu, mau ikut lomba nggak?”
“Kalau lomba maulah Bu!” Jawabku semangat. Aku berharap inilah jalan yang Allah tunjukkan padaku untuk mendapatkan uang sehingga aku bisa membeli celana abu-abu.
“Kalau mau, kamu mau ikut yang mana, cerdas cermat apa KIR?”
“KIR aja deh. Tapi mengenai apa karya ilmiahnya?”
“Temanya sih tentang energi alternatif dalam kehidupan sehari-hari, jadi ya terserah kamu mau pilih energi alternatif apa?” Jelasnya lagi. Aku bingung mau buat karya ilmiah apa. Sepertinya otakku tidak berpikir cepat untuk masalah yang satu ini. Bu Septi tersenyum melihat kebingunganku.
“Ya sudah nanti saja kamu pikirin. Kalau sudah dapat ide nanti bilang sama Ibu!” Lanjutnya lagi.
“Insya Allah saya usahain. Ya sudah kalau gitu saya permisi dulu ya Bu mau masuk kelas!” Pamitku.
≈ ** ≈
Krisis energi yang melanda dunia membuat umat manusia menjadi resah. Terutama krisis bahan bakar minyak (BBM). Apalagi minyak bumi setiap harinya terus menerus dieksploitasi dari perut bumi maka lama kelamaan ketersediaanya pun akan semakin berkurang bahkan bisa habis. Oleh karena itu, para ilmuwan berusaha mencari energy alternatif alami baru untuk mengatasinya. Sama halnya dengan mahasiswa jurusan Teknik Kimia UNTIRTA. Mereka berkeinginan menyaring para bakat muda baru yang dapat berkarya ilmiah untuk membuat dan mengembangkan energy alternatif di daerahnya melalu lomba KIR yang diadakan setiap tahun.
Aku masih bingung menentukan penelitian apa yang harus ku lakukan. Sepanjang jalan menuju rumah Astri bersama kedua temamku Iiv dan Eva aku terus berusaha mencari ide gemilang. Pusing rasanya, Si ide sepertinya semakin tenggelam. Apalagi rute yang harus kami tempuh cukup terjal dan menanjak. Andai saja kami tak punya janji dengan Astri untuk kerja kelompok di rumahnya, malas rasanya aku ke daerah ini.
“Assalamualaikum, Astri ada pak?” Tanya kami pada seorang bapak yang sedang ada di halaman rumah Astri. Dia adalah Pak Ayat bapaknya Astri. Pak Ayat adalah pengumpul Nira kelapa di daerah Bangkonol, Mancak. Di sana terlihat drum-drum besar tempat menampung nira kelapa yang telah difermentasi. Untuk memfermentasi nira kelapa, pak Ayat tidak menggunakan ragi tapi menggunakan kayu yang beliau peroleh dari pulau sumatera.
“Wa’alaikumussalam, Oh… kamu Ron, Astri ada di dalam.” Jawab Pak Ayat.
“ Ayo masuk!” Lanjutnya mempersilahkan kami masuk.
“Terimakasih Pak” Jawab kami hampir berbarengan.
“Niranya banyak sekali pak?” Tanya Iiv
“Lumayanlah, kan nanti sore Bapak akan antarkan ke pabrik.” Jawab Pak Ayat.
Pak Ayat menawarkan kami untuk mencicipi nira yang telah difermentasi tersebut. Tentu saja kami tidak menolak tawaran tersebut. Kemudian kami pun langsung mencobanya dan ternyata setelah kami mencoba rasanya sangat pahit dan aromanya pun sangat tidak enak, tidak seperti nira yang baru diambil dari pohon kelapa. Dan selang beberapa menit kemudian, kepala kami terasa pusing dan rasanya mual.
“Ada apa, kok pada bengong?” Tanya Astri sambil membawa baki berisi teh hangat dan getuk pisang hijau.
“Kepalaku tiba-tiba pusing As.” Jawabku sambil memegang kepalaku.
“Iya nih kepalaku juga pusing.” Sahut Iiv.
“Iya benar kepala saya juga pusing.” Eva menimpali.
“Emang tadi habis pada makan apa?” Tanya Astri lagi.
Nampaknya dia bingung kenapa temannya baru saja datang tiba-tiba mengeluh pusing. Aku pun menceritakan bahwa tadi kami meminum nira pemberiam Pak Ayat. Astri malah tertawa, kemudian dia menjelaskan bahwa nira tersebut sudah difermentasi sehingga berubah menjadi minuman beralkohol atau sering disebut dengan tuak. Kadar alkoholnya masih rendah tapi dapat membuat pusing bagi orang yang baru sekali meminumnya. Aku pun menjadi penasaran dan bertanya pada Pak Ayat bagaimana cara memfermentasikan nira sehingga dapat mengandung alkohol. Setelah mendapat penjelasan beliau, tiba-tiba disela kepalaku yang tadi pusing mulai terbuka sebuah ide. Aku ingat ketika bimbel olimpiade kimia dengan Bu Septi, beliau menjelaskan bahwa etanol dapat digunakan untuk bahan bakar bioetanol pengganti bahan bakar minyak. Mudah-mudahan alkohol yang terkandung dalam nira ini pun etanol. Setelah pekerjaan kelompok selesai, kami berpamitan untuk pulang. Aku pun tak lupa meminta satu botol nira fermentasi pada Pak Ayat untuk dibawa pulang. Jangan curiga dulu teman, bukannya aku sudah kecanduan alcohol tapi ini untuk sampel penelitianku nanti.
≈ *** ≈
Etanol yang memiliki rumus molekul C2H5OH disebut juga etil alkohol atau orang lebih suka menyebutnya alcohol saja. Etanol biasanya dibuat dari glukosa dengan jalan peragian. Karena pengaruh enzim-enzim (Zimase) maka glukosa akan teroksidasi menjadi etanol dan karbon dioksida. Dengan reaksi,
C6H12O6 2CH3CH2OH + 2CO2.
glukosa etanol
Proses fermentasi menghasilkan alkohol dengan kadar 12-15%, sulit melebihi kadar tersebut, karena kandungan alkohol di atas 15% akan mematikan bakteri ragi. Sedangkan untuk mencapai alkohol 95,5% dilakukan penyulingan (distilasi).
Nira kelapa fermentasi yang aku minta dari Pak Ayat kemarin aku bawa ke sekolah dan aku pun meminta bimbingan Bu Septi mengenai bagaimana cara memisahkan etanol dari nira kelapa. Beliau kemudian menjelaskan langkah-langkah dan proses pemisahan etanol dari nira kelapa dengan alat distilasi. Namun, sayangnya sekolahku tidak memiliki alat distilasi. Tapi karena melihat semangatku akhirnya Bu Septi mencoba meminjam alat distilasi tersebut ke sekolah lain. Akan tetapi, usahanya tidak membuahkan hasil. Ini membuat kami hampir putus asa. Untuk mengajukan pada sekolah rasanya tidaklah mungkin, karena sekolah kami sangat kesulitan dana. Jangankan untuk biaya ini dan itu, untuk biaya guru honor saja kadang tertunda beberapa bulan. Itu yang sering aku dengar jika ada penagihan administrasi dari pihak TU. Akhirnya, Bu Septi menyarankan aku untuk membuat sendiri tttgfgvhbalat distilasi tersebut. Bahan dasarnya adalah gelas kimia ukuran 100 ml, botol plastik bekas air mineral ukuran 600 ml, karet dari sandal jepit bekas, botol plastik bekas cuka, selang kecil, thermometer, pembakar sepiritus dan penyangga sistem pendingin dari bambu.
Pertama kali yang aku lakukan adalah merancang alat pendingin. Sistem pendingin dirancang dengan menggunakan botol air mineral yang pada kedua ujung sisinya diberi 2 lubang. Satu lubang ujung kiri dan kanan yang letaknya mendatar diberi selang yang berfungsi sebagai kolom dalam sistem pendingin. Sedangkan lubang diujung kiri letaknya dibawah diberi selang untuk memasukkan air. Satu lubang lagi yang letaknya di ujung sebelah kanan agak atas diberi selang lebih panjang untuk mengeluarkan air. Aliran air tersebut berfungsi sebagai mediator pendingin. Sisa lubang ditutup dengan tanah liat yang berfungsi menggantikan vaselin. Pada rancangan sistem pendingin ini ternyata tidak berhasil. Pada saat dilakukan uji coba distilasi dengan air teh, tanah liat tidak dapat menahan aliran air sebagai mediator pendingin. Hal ini menyebabkan kebocoran sehingga mengganggu jalannya distilasi. Tahukah teman? Aku bingung sekali waktu itu.
Bersama Bu Septi, aku merancang ulang alat distilasi baru. Untuk rancangan kali ini, aku membelah 2 ujung botol air mineral dan menutup dengan karet sandal. Karet sandal diberi 2 lubang. Lubang bawah pada karet di kedua ujung botol dihubungkan dengan selang sebagai kolom pendingin, lubang atas sebelah kiri diberi selang untuk masuknya air dan lubang atas sebelah kanan diberi selang untuk keluarnya air. Kemudian kami mencoba mendistilasi air teh, ternyata alat tersebut dapat menghasilkan air murni dari air teh. Akhirnya, aku pun menggunakan alat tersebut untuk mendistilasi nira kelapa yang difermentasi untuk mendapatkan etanol.
Keesokkan harinya, aku memulai penelitianku dengan didampingi oleh Bu Septi. Beliaulah orang yang telah mengajariku dan membimbingku selama proses penelitian. Selain itu Udoh dan Bibah juga setia menemani dan membantuku. Mereka semua rela meluangkan waktu untuk kesuksesan penelitianku. Sambil menunggu hasil distilasi, terkadang kami bertiga mengerjakan tugas-tugas sekolah bersama sehingga kami tidak tertinggal materi pelajaran meski jarang masuk selama penelitian.
”Lihat Ron etanolnya sudah terpisah!” Kata Udoh sambil menunjuk gelas yang menampung hasil distilasi. Bibah dan aku menghentikan aktifitasku memasukkan air pada sistem pendingin. Karena selangnya terlalu kecil dan di sekolah belum ada kran maka pemberian airnya dilakukan secara manual.
Ya sudah, sini aku uji etanol dengan uji pembakaran, kamu teruskan memasukkan airnya”kataku pada Udoh. Aku mengambil sedikit hasil distilasi dan kumasukkan pada cawan porselin. Ternyata ketika dibakar cairan bening itu tidak terbakar berarti hasil distilasi itu bukan etanol.
”Ya....... gagal maning!” Gerutu hatiku.
”Ada apa Ron, ada masalah?” Tanya Bu Septi tiba-tiba. Karena asiknya menguji tadi aku tidak sadar kalau bu Septi dari tadi sudah ada di dekatku.
”Ini Bu, hasil distilasinya tidak terbakar, berarti bukan etanol dong!” Jawabku kecewa.
Bu Septi kemudian menjelaskan bahwa hasil distilasi tersebut memang etanol hanya saja masih bercampur air. etanol dapat dipekatkan dengan penyulingan sehingga diperoleh alkohol sampai 95,57% dan masih mengandung air 4,93%. Hal ini terjadi karena air dan alkohol membentuk campuran azeotrop, yaitu campuran yang memiliki titik didih tetap. Etanol dengan kadar diatas 95,57 % dapat diperoleh dengan memekatkan etanol hasil distilasi menggunakan zat pengikat air, misalnya CaO. Namun, dikala itu zat pengikat air yang dimaksud tidak ada. Akhirnya, aku dan Bu Septi memutuskan untuk menunda penelitianku terlebih dahulu.
Keesokan harinya aku pun berniat untuk melanjutkan penelitianku. Namun, pagi itu aku masuk kelas terlebih dahulu karena aku sudah banyak tertinggal materi pelajaran selama aku penelitian. Setelah jam pelajaran usai, aku pun langsung bergegas menuju Ruang Laboratorium. Di sana Bu Septi telah sejak lama menungguku. Beliau telah mempersiapkan alat-alat dan bahan untuk percobaan distilasi selanjutnya. Aku pun langsung menghampirinya.
“Ibu…! Dari tadi Ibu di sini?” Tanyaku sambil bersalaman denganya.
“Iya nih, Ibu nyampe karatan nungguin kamu.”
“Heee…” Aku hanya tertawa mendengarnya.
“Oh ya, Ibu tinggal ke Kantor dulu ya, Ron!” Kata Bu Septi sambil bergegas meninggalkanku.
Sepeninggalan Bu Septi aku pun menjadi bosan menunggunya. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk pergi ke kantin terlebih dahulu, karena nampaknya cacing-cacing di dalam ususku sudah pada demo karena aku belum memakan sesuap nasi pun saat itu. Akan tetapi, sebelumnya aku mengambil nira kelapa yang telah difermentasi atau aku lebih suka menyebutnya tuak yang disimpan oleh Bu Septi di dalam lemari. Kemudian aku meletakkannya di dekat alat distilasi yang telah disiapkan oleh Bu Septi sebelumnya. Tanpa pikir panjang lagi aku pun bergegas pergi ke Kantin untuk makan siang. Setelah selesai makan siang, aku kembali lagi ke Ruang Lab. Setibanya di sana, aku melihat Bu Septi sedang sibuk mondar-mandir ke sana kemari seperti sedang mencari sesuatu. Melihat Bu Septi nampak kebingungan aku langsung menghampirinya.
“Ibu sedang cari apa, kok kayanya bingung banget?” Tanyaku heran.
“Aduh Ron… kamu dari mana saja?” Tanya Bu Septi sedikit panik.
“Dari Kantin, Bu!” Jawabku singjkat.
“Air niranya dibawa kamu?”
“Air nira…? Bukannya saya tadi taruh di situ…?” Jelasku sambil menunjuk ke arah alat distilasi.
“Di situ… Disitu dimana, kok nggak ada???”
“Nggak ada,,, kok bisa, Bu? Padahal saya baru tinggal sebentar.” Jawabku semakin bingung.
“Tapi,,, sekarang niranya hilang, Ron!” Jelas Bu Septi.
“Apa… Hilang?” Tanyaku terkejut.
“Kamu sih, mau keluar pintunya nggak di kunci. Sekarang jadi begini kan?” Kata Bu Septi dengan nada sedikit marah.
“Maafin saya, Bu. Saya teledor. Terus sekarang gimana?” Kataku dengan nada bersalah.
“Ya sudah, coba aja kita cari dulu kali aja ketemu!”
Tahukah teman, aku dan Bu Septi bingung hendak mencari kemana nira tersebut. Sampai-sampai aku harus mencari dan bertanya ke sana ke mari untuk menemukannya. Namun, usaha kami sia-sia, nira itu pun hilang entah ke mana. Akhirnya, salah satu temanku yang tahu kejadian itu, melaporkan padaku dan Bu Septi bahwa nira miikku telah dicuri oleh teman sekelasnya yang bernama Hendar. Aku pun sangat terkejut dan geram sekali mendengarnya. Terlebih Bu Septi, ia sangat kesal dan marah mengetahui hal tersebut. Ia tidak menyangka mengapa di saat aku hamper menyelesaikan penelitianku terjadi pertiwa seperti ini. Padahal, waktuku untuk mempresentasikan karya ilmiahku hanya tinggal dua hari lagi. Tapi, apa boleh dikata. Nasi telah menjadi bubur.
Bu Septi mengadukan kejadian ini kepada kepala sekolahku. Kepala sekolah pun terkejut mendengarnya. Seteah Bu Septi menceritakan kronologisnya, beliau berjanji akan memberkan sanksi kepada Hendar atas perbuatannya.
Keesokan harinya, ternyata Hendar mengembalikan air nira yang telah dicurinya. Ia mengaku bahwa ia melakukannya karena ingin meminum air nira tersebut. Namun, mengetahui bahwa kami telah mengetahui perbuatannya ia pun mengurungkan niatnya untuk meminum air nira tersebut. Akhirnya, ia meminta maaf kepada kami semua atas perbuatannya.
Setelah air nira yang kami butuhkan telah ada, aku melanjutkan penelitianku membuat etanol dari nira kelapa yang telah difermentasi terlebih dahulu. Tak ketinggalan pula Bu Septi dan kedua temanku Udoh dan Bibah mendampingiku selama proses distilasi. Hasil distilasi pun telah diperoleh. Pada saat percobaan pertama, Bu Septi telah memberitahuku bahwa etanol dengan kadar di atas 95.57% dapat diperoleh dengan cara memekatkannya menggunakan zat pengikat air. Namun, sampai hari aku pun belum pula memperolehnya. Akhirnya, aku dan Bu Septi melakukan distilasi ulang pada hasil distilasi pertama dengan menjaga suhu antara 60-800C sesuai dengan titik ddih etanol yaitu sekitar 780C. Hasil distilasinya lebih sedikit dibandingkan dengan distilasi pertama. Hasil distilasi kedua tersebut, aku masukan ke dalam cawan porselin dan aku uji dengan cara menyulutnya dengan korek api. Ketika aku uji, distilat tersebut ternyata terbakar dengan warna api biru keputihan hampir tak terlihat. Walaupun nyalanya sebentar karena etanol yang dihasilkan hanya sedikit. Senang sekali hatiku saat itu. Semakin yakin aku untuk mengikuti perlombaan karya ilmiah ini. AKU PASTI BISA……………… ( to be continue )
sangat memotivasi bu, cerpennya .
BalasHapus