Rabu, 31 Desember 2014

POSISI, KEDUDUKAN, DAN PERAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran
Dosen              : Lily Barlia,M.Sc,Ed,Ph.D
Penyusun         : Dian Mila Kusuma
Prodi                : Teknologi Pembelajaran Pascasarjana Untirta


Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagi proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu (Sudjana, 1989). Dalam suatu proses belajar, seorang individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk memahami dan mengalami sesuatu yang nantinya akan menjadi sebuah pengetahuan bagi individu tersebut. Hal ini berarti, seorang individu belajar melalui proses pemahaman dan pengalaman.
Pembelajaran merupakan suatu proses terjadinya komunikasi dan interaksi antara pengajar dan pembelajar, dalam hal ini guru sebagai pengajar dan siswa sebagai pembelajar untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yang  disebut sebagai tujuan pembelajaran. Dalam proses ini terjadi transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa. Melalui transfer ilmu pengetahuan tersebut diharapkan siswa dapat membekali diri untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan bermanfaat dalam penerapan kehidupan sehari-hari.Proses pencapaian tujuan pembelajaran melalui suatu siklus yaitu conceptual understanding, conceptual changing, dan behavior changing.
 Dalam proses pembelajaran, siswa mempelajari dan memahami suatu pengetahuan baru baginya yang ia dapatkan dari hasil initeraksidan komunikasinya dengan lingkungannya. Hal inilah yang disebut dengan conceptual understanding, dimana siswa atau seseorang dalam proses pembelajarannya mendapatkan  pengetahuan yang baru.
Siklus yang berikutnya terjadi adalah conceptual changing, dimana setelah mendapatkan pengetahuan baru, siswa atau seseorang tersebut akan mengalami penambahan pengetahuan. Penambahan pengetahuan tersebut akan berpengaruh terhadap cara berpikirnya. Siswa atau seseorang tersebut akan memiliki cara berpikir yang berbeda dengan sebelumnya. Hal ini disebut dengan conceptual changing.
Siklus yang terakhir terjadi dalam proses pembelajaran adalah behavior changing. Setelah siswa mendapatkan dan memahami pengetahuan baru yang kemudian mengubah pemahamannya dan menambah pengetahuan yang telah dimilikinya, maka hal yang terjadi kemuadian adalah perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini terjadi karena siswa atau seseorang tersebut telah mengubah cara berpikirnya. Sebagai contoh kasus, seorang anak mendapatkan pengetahuan bahwa membuang sampah sembarangan akan mengakibatkan banyak hal buruk, di antaranya penyebaran kuman penyakit oleh lalat, dan banjir. Dari pengetahuan yang baru didapatnya, anak tersebut secara otomatis mengubah cara berpikirnya, yaitu timbul kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan.  Dengan berubahnya cara berpikir anak tersebut, maka berubah pula prilakunya dalam hal membuang sampah. Anak tersebut tidak lagi membuang sampah sembarangan.
Tercapainya tujuan pembelajaran tidak dapat dilepaskan dari peran pemahaman dan aplikasi psikologi pendidikan. Barlow mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai “a body of knowledge grounded in psychological research which provides a repertoire of resource to aid you in functioning more effectively in teaching learning process.” Menurut Barlow, psikologi pendidikan adalah sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang menyediakan serangkaian sumber-sumber untuk membantu anda melaksanakan tugas-tugas seorang guru dalam proses belajar mengajar secara efektif. Pernyataan Barlow ini menyiratkan bahwa dalam proses pembelajaran tidak hanya terjadi transfer ilmu saja, tetapi juga terjadi interaksi sehingga guru sebagai pendidik perlu dibekali pemahaman tentang psikologi untuk memudahkan terjadinya transfer ilmu dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan teori tersebut, maka guru harus mampu melayani dan memfasilitasi secara tepat sesuai dengan tingkat perkembangan dan perbedaan karakteristik siswa. Terdapat banyak faktor yang harus diperhatikan antara lain yang mencakup tingkat perkembangan intelektual; sensitifitas pada usianya; previous, basic, dan background knowledge of learners (latar belakang pengetahuan, pengetahuan dasar dan penguasaan pengetahuan sebelumnya dari siswa); teaching and learning moments (momen belajar mengajar); scope and sequence of the teaching/learning materials (cakupan dan urutan materi pembelajaran); the specific moment/situation when the teaching materials offered (situasi tertentu pada saat materi pembelajaran disampaikan); instructional strategies used (strategi pembelajaran yang digunakan); termasuk the acceptability of the teacher by learners (keterterimaan guru oleh siswa); dan teacher’s personality in teaching and learning process (kepribadian guru dalam proses belajar mengajar).   
Tingkat Perkembangan Intelektual dan Sensitivitas pada Usianya
            Intelegensi adalah suatu keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Dimana minat terhadap intelegensi seringkali difokuskan pada perbedaan individual dan penilaian individual (Kaufman & Lictenberger,2002; Lubinski, 2000; Molfse & Martin, 2001).
            Dalam proses pembelajaran, seorang guru harus memahami siswa yang dihadapinya agar terjadi interaksi yang baik. Setelah interaksi dan komunikasi terjalin dengan baik, maka  diharapkan tujuan pembelajaran pun akan tercapai dengan mudah. Siswa dengan usia yang berbeda memiliki tingkat kecerdasan berbeda. Hal ini adalah salah satu bekal yang harus dimiliki oleh seorang guru sebelum melakukan proses pembelajaran.
            Jean Piaget melakukan penelitian terhadap perkembangan intelektual anak sejak ;lahir hingga dewasa, yang menghasilkan pembagian perkembangan intelegensi menjadi empat tahap, yaitu:
1.      Tahap Sensorik-Motorik
Tahap sensorik-motorik dimulai pada saat usia 0 – 2 tahun, yangterlihat pada bayi yang mulai menampilkan prilaku reflektif, dengan melibatkan prilaku yang inteligen. Prilaku seorang bayi sangat mengandalkan gerakan refleksinya. Kemudian, dua bulan kemudian, bayi akan mulai belajar untuk membedakan objek yang ada di sekitarnya, dimulai dengan menghisap jari dan benda yang ada di dekatnya.
Pada masa ini, bayi mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka seperti menghisap, menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul di hadapannya. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman penting dalam enam sub-tahapan; (a) skema refleks yang berhubungan dengan refleks; (b) fase reaksi sirkular primer berhubungan dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan; (c) fase reaksi sirkular sekunder berhubungan dengan koordinasi indera penglihatan dan pemaknaan; (d) koordinasi reaksi sirkular sekunder berhubungan dengan berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda jika dilihat dari sudut berbeda; (e) fase reaksi sirkular tersier berhubungan denga cara-cara baru untuk mencapai tujuan; (f) awal representasi simbolik berhubungan dengan tahapan awal kreatifitas.
2.      Tahapan Praoperasional
Tahapan ini terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Pada masa ini, anak-anak belajar menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah akan tetapi pikiran mereka masih tidak sistematis dan tidak logis. Pikiran pada masa ini sangat berbeda dengan masa dewasa. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahap ini, anak belajar menggunakan dan mempresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris; anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan benda merah walau bentuknya bermacam-macam atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
3.      Tahapan Operasional Konkrit
Tahapan ini terjadi antara usia 8 – 11 tahun, dimana anak-anak mengembangkan kemampuan berpikir sistematis, akan tetapi hanya ketika mereka dapat mengacu pada objek-objek dan aktifitas-aktifitas konkret. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah penggurutan, klasifikasi, decentering, reversibility, konservasi dan penghilangan sifat egosentrisme.
4.      Tahapan Operasional Formal
Pada usia 11 tahun sampai dewasa, orang muda mengembangkan kemampuan untuk berpikir sistematis menurut rancangan yang murni abstrak dan hipotesis.
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik dalam tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada “gradasi abu-abu” di antaranya.
Berdasarkan tahapan-tahapan perkembangan di atas, maka seorang guru dapat melihat berada dalam kelompok manakah siswa yang sedang dihadapi dalam proses pembelajaran yang sedang dipandunya. Dengan mengetahui tingkat kecerdasan siswa secara umum, maka guru dapat menentukan metode pengajaran apa yang terbaik agaar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Selain itu, guru juga harus mengetahui lebih jauh tentang tingkat keceerdasan siswa secara individu. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tingat kecerdasan siswa yang dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan.  Sejalan dengan pemikiran tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, yang mengemukakan adanya faktor yang mempengaruhi perkembangan individu yaitu faktor dasar atau faktor pembawaan internal, dan faktor ajar atau lingkungan (faktor eksternal).
Prior, Basic and Background Knowledge
            Istilah background knowledge dan prior knowledge sering digunakan secara bergantian oleh beberapa ahli. Stevens (1980) mendefinisikan background knowledge sebagai “...what one already knows about a subject...” Menurutnya background knowledge adalah apa yang telah diketahui oleh seseorang tentang suatu subjek. Sementara definisi yang dikemukakan oleh Biemans & Simons (1996) lebih kompleks “...(background knowledge is) all knowledge learners have when entering a learning environment that is potentially relevant for acquiring new knowledge” Biemans & Simons mendefinisikan background knowledge sebagai seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pembelajar pada saat memasuki suatu lingkungan pembelajaran yang memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan baru.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa prior, basic and background knowledge atau biasa kita sebut sebagai latar belakang pengetahuan, pengetahuan dasar, dan pengetahuan sebelumnya, merupakan rangkaian kekayaan pengetahuan siswa tentang suatu objek pengetahuan sebelum guru menyampaikan objek pengetahuan tersebut dalam proses pembelajaran.
            Siswa belajar sebagian besar dengan cara membaca. Untuk dapat membaca secara efektif, siswa perlu mengintegrasikan materi yang baru dibacanya ke dalam pengetahuan yang telah ia miliki, membangun pemahaman baru, dan mengadaptasikannya dengan konsep yang telah ada. Kemampuan seperti ini sangat penting untuk mencapai pemahaman teks secara menyeluruh. Siswa yang memiliki latar belakang pengetahuan yang sedikit, dan mereka yang tidak mampu mengaktifasi latar belakang pengetahuan mereka akan menghadapi kesulitan dalam mengakses, berpartisipasi, dan berkembang dalam proses pembelajaran, dimana kemampuan membaca dan memahami teks merupakan prasyarat kesuksesan belajar.
            Untuk mengantarkan kesuksesan siswa dalam membaca untuk belajar (read to learn), seorang guru harus mampu memandu siswa dalam mengaktifasi background knowledge mereka sebelum guru mulai mengajarkan materi baru. Di sinilah guru harus benar-benar memerankan diri dalam tahap eksplorasi seperti tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang telah dibuatnya. Dalam tahap eksplorasi ini seorang guru harus mampu mengeksplor atau memunculkan background knowledge siswa sehubungan dengan materi yang akan diajarkan. Proses ini juga seringkali disebut sebagai brainstorming.
            Dalam tahapan brainstorming, guru juga harus mampu mendistribusikan background knowledge secara merata kepada seluruh siswa. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kesulitan siswa dalam memahami materi yang akan diajarkan. Dengan demikian, diharapkan guru akan mencapai usaha maksimal dalam membekali siswa dengan background knowledge yang cukup untuk memahami materi yang akan diajarkan.
Faktor Penentu Keberhasilan Pembelajaran
            Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran sangat bergantung pada beberapa faktor.  Sekitar 90% keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran bergantung pada keterampilan guru dalam mempersiapkan materi pembelajaran, memilih strategi pembelajaran, peka dalam memahami dan memanfaatkan teaching and learning moments,kemampuan berimprovisasi dalam situasi pembelajaran tertentu, dan kemampuan guru dalam membawa diri serta memunculkan pribadi positif sehingga keterterimaan guru  oleh siswa cukup tinggi.
            Dalam suatu proses pembelajaran, seorang guru harus mempersiapkan materi pembelajaran secara cermat. Persiapan materi pembelajaran ini tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Dalam RPP tersebut seorang guru harus membuat urutan proses pembelajaran secara terinci mulai dari penentuan Standar kompetensi sampai rencana bentuk soal dalam evaluasi. Hal ini untuk menghindarkan hal-hal yang mungkin terlupakan dalam proses pembelajaran. RPP berfungsi sebagai pemandu dan acuan selama proses belajar mengajar berlangsung.
            Apabila seorang guru tidak membuat RPP sebagai pedoman dalam proses pembelajaran, maka memungkinkan terjadinya ketidaksempurnaan dalam penyampaian materi. Bisa saja guru terlupa melakukan brainstrorming di awal pembelajaran karena ia terlalu asik memberi motivasi pada siswa. Alokasi waktu yang seharusnya digunakan untuk brainstorming akhirnya habis digunakan oleh guru untuk memberi motivasi siswa. Dengan adanya RPP juga sangat membantu guru dalam memberikaanmateri, karena dalam RPP yang lengkap tercantum pula materi yang lengkap. Selain pencantuman materi yang lengkap, RPP yang baik juga harus dilengkapi oleh soal-soal latihan dan evaluasi beserta kunci jawaban dan sistem penilaian. Hal ini menghindarkan guru dari kesulitan dalam pemberian latihan dan evaluasi.
Seorang guru juga harus mampu menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk menyampaikan materi yang akan diajarkan. T Raka Roni (1983) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan strategi pembelajaran adalah suatu prosedur yang digunakan untuk memberikan suasana yang konduktif kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan Gerlach dan Elly (1989) menyatakan bahwa strategi adalah suatu cara yang terpilih untuk menyampaikan pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu. Definisi yang lain menyebutkan bahwa strategi adalah suatu garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan (Djamarah dan Zain, 2002). Dengan demikian, pengertian strategi dalam pembelajaran adalah suatu prosedur yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.  Strategi pembelajaran sebagi pola kegiatan pembelajaran yang dipilih dan digunakan guru secara kontekstual sesuai dengan karakteristik siswa, kondisi sekolah, lingkungan serta tujuan khusus pembelajaran yang diinginkan.
            Strategi pembelajaran pada dasarnya bertolak dari keaktifan guru atau siswa. Di satu sisi ada strategi yang menekankan keaktifan guru atau strategi guru aktif (pembelajaran ekspositori) dan strategi yang menekankan keaktifan siswa atau strategi siswa aktif (pembelajaran discovery).
            Pembelajaran dengan pendekatan ekspositori merupaka suatu pembelajaran yang menekankan pada interaksi guru dengan siswa. Dalam pendekatan ini terjadi komunikasi satu arah, yaitu dari guru ke siswa sehingga guru jauh lebiih aktif dari pada siswa. Guru banyak berbicara untuk menginformasikan bahan ajar pada siswa, sementara siswa menjadi objek. Pembelajaran discovery menunjukkan pembelajaran siswa aktif. Pembelajaran ini ditandai dengan komunikasi multi arah. Siswa adalah subjek belajar.
            Dalam strategi pembelajaran siswa aktif, terdapat beberapa strategi atau model pembelajaran yang bisa diterapkan, antara lain: Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), model pembeljaran kooperatif (Cooperative Learning), model pembelajaran tuntas (Mastery Learning), model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), pembelajaran berdasarkan proyek (Project Based Learning), model pembelajaran berdasarkan komputer (Computer Based Instruction) dan model pembelajaran tematik (Thematic Learning).
            Ragam lain tentang strategi pembelajaran dicontohkan oleh Wina Sanjaya (2008). Ragam tersebut meliputi Strategi Pembelajaran berbasis masalah, atrategi pembelejaran meninghkatkan kemampuan berpikir, strategi pembelajaran kooperatif, strategi pembelajaran kontekstual dan strategi pembelajaran afektif.
Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dengan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual meupakan konsepsi yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan.
Cooperative learning dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran. Siswa lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (constructing) dan penciptaan, kerja dengan tim, dan berbagi pengetahuan sesama siswa. Walau pun begitu, tanggung jawab individual tetap merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.
Pembelajaran tuntas merupakan sistem pembelajaran yang mengharapkan setiap siswa mampu menguasai kompetensi-kompetensi dasar (basic learning objectives) secara tuntas. Berpegang pada prinsip: jika setiap siswa diberikan waktu yang cukup sesuai dengan kecepatan belajarnya, dan yang bersangkutan menggunakan waktu dengan baik, maka besar kemungkinan siswa akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi yang ditentukan. Sebaliknya, jika siswa tidak diberi cukup waktu atau yang bersangkutan tidak menggunakan waktu yang disediakan, maka tingkat penguasaan kompetensi juga tidak akan optimal.
Problem based learning adalah pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai materi pembelajaran bagi siswa, sehingga siswa dapat belajar berpikir kritis dan teraampil memecahkan berbagai masalah untuk memperoleh konsep atau pengetahuan yang esensial. Problem based learning disepadankan dengan project based learning. Problem based learning menekankan pada kegiatan perumusan masalah, pengumpulan data, dan analisis data. Sedangkan pada project based learning menekankan pada kegiatan perumusan pekerjaan , merancang, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil kerja. Kedua model tersebut menekankan pada lingkungan siswa aktif, kerja tim, dan teknik evaluasi otentik/bermakna.
Role play merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode role play adalah kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterpretasikan suatu kejadian.
Pembelajaran partisipatif merupakan model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. E. Mulyasa (2003) menyebutkan indikator pembelajaran partisipatif yang melipuuti adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik, adanya kesediaan peserta didik untuk memberkan kontribusi dalam pencapaian tujuan, serta dalam kegiatan belajar mengajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Teachable Moments
            Berdasarkan definisi dari Wikipedia, teachable moments adalah waktu dimana  seseorang bisa mempelajari suatu topik dengan sangat mudah. Konsep ini dipopulerkan oleh Robert Havighurst dalam bukunya Human Development and Eucation dalam konteks teori pendidikan mengatakan, “tugas pertumbuhan adalah tugas yang dipelajari pada poin tertentu dan yangmembuat suksesnya pencapaian memungkinkan. Ketika timingnya tepat, kemampuan mempelajari suatu tugas menjadi memungkinkan. Hal ini disebut “teachable moment”. Perlu diingat bahwa pembelajaran tidak akan terjadi bila waktunya tidak tepat. Karenanya, perlu dilakukan pengulangan terus menerus terhadap poin-poin penting setiap saat, sehingga ketika teachable moment seorang siswa terjadi, ia dapat memanfaatkannya dengan baik.”
            Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa guru perlu melakukan pengulangan terhadap materi-materi yang dianggap penting karena guru tidak pernah mengetahui kapan teachablemoment siswanya datang. Dengan pengulangan terus menerus diharapkan siswa dapat memahami materi tersebut bila teachable moment tersebut datang bertepatan dengan saat pengulangan terjadi.
Teacher Acceptability
            Salah satu pemicu motivasi belajar siswa adalah guru. Guru yang mampu membuat siswa termotivasi akan mampu mengantarkan siswa tersebut berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Seorang guru harus mampu membawa diri dengan sifat-sifat positif dan mampu menilaikan nilai-nilai positif kepada siswanya. Dengan demikian siswa akan dipengaruhi oleh aura positif tersebut sehingga akan termotivasi pada akhirnya. Pada keadaan seperti ini dikatakan keterterimaan guru oleh siswa cukup tinggi.
            Banyak anak yang tidak bagus belajarnya di sekolah punya hubungan yang negatif dengan guru mereka. Mereka seringkali mengalami masalah, misalnya tidak mengerjakan tugas, tidak memperhatikan, atau karena bikin onar. Dalam banyak kasus, mereka pantas ditegur dan dihukum, akan tetapi seringkali situasi kelas menjadi sangat tidak menyenangkan bagi mereka.
Nel Nodding (1992, 1998, 2002) percaya bahwa siswa kemungkinan besar akan berkembang menjadi manusia yang kompeten apabila mereka merasa diperhatikan. Karenanya guru harus mengenal siswa dengan baik. Dia percaya bahwa keadaan seperti itu sulit diwujudkan di sekolah besar dengan siswa yang jumlahnya banyak di setiap kelasnya. 
Siswa yang merasa punya guru yang suportif dan perhatian akan lebih termotivasi untuk belajar dibandingkan dengan mereka yang merasa mempunyai guru yang tidak suportif dan tidak perhatian. Motivasi siswa akan bertambah jika guru memberinya tugas yang menantang dalam lingkungan yang mendukung proses penguasaan materi. Guru mesti memberi dukungan emosional dan kognitif, memberi materi yang berarti dan menarik untuk dipelajari dan dikuasainya, dan memberi dukungan yang cukup bagi terciptanya kemandirian dan inisiatif siswa. Kecakapan diri (slf efficacy), motivasi dan iklim sekolah akan sangat mempengaruhi motivasi prestasi siswa. Sekolah dengan ekspektasi tinggi dan standar akademik yang tinggi, serta dukungan emosional dan akademik yang memadai, sringkali membuat siswa termotivasi untuk berprestasi.
Seorang guru yang memotivasi dengan memberi perhatian berusaha membuat kelas menjadi menarik, mengajar dengan cara yang spesial. Guru juga harus mampu berkomunikasi dengan baik dengan siswanya. Guru harus mampu bicara kepada siswa dengan baik, membei perhatian, mengajukan pertanyaan dan menjadi pendengar yang baik bagi siswanya.
Guru yang mampu memotivasi siswa harus mampu berprilaku adil dan respek. Guru harus mampu bersikap jujur dan adil, menepati janji, membuat siswa merasa dipercaya dan memberi tahu kebenaran pada siswanya.
Wujud perhatian guru juga dapat diwujudkan dengan perhatian kepada masing-masing individu. Caranya bisa dengan bertanya jika ada sesuatu yang tidak beres, bicara kepada siswa mengenai problem siswa, mampu bersikap layaknya teman, bertanya saat siswa membutuhkan bantuan, dan bisa meluangkan waktu untuk memahami dan berbicara dengan siswa.

Dari paparan yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa berperan penting dalam proses belajar mengajar. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seorang guru harus sangat memperhatikan siswa dan mempersiapkan  proses belajar meengajar dengan baik. Guru harus memahami kondisi dan latar belakang siswanya untuk mengantarkan siswanya mencapai tujuan pembelajaran dengan baik. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mempersiapkan proses pembelajaran adalah tingkat perkembangan intelektual siswa, prior and background knowledge, teaching and learning moments, teaching materials, instructional strategies used, dan tidak kalah pentingnya teacher acceptance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMBELAJARAN INTERAKTIF DALAM KIMIA SMA: MEMBAWA KONSEP ABSTRAK KE DUNIA NYATA

Pembelajaran interaktif telah menjadi tren dalam dunia pendidikan modern. Dalam mata pelajaran kimia, yang seringkali dianggap abstrak dan s...