Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Orientasi Baru dalam
Psikologi Pembelajaran
Dosen : Lily Barlia,M.Sc,Ed,Ph.D
Penyusun : Dian
Mila Kusuma
Prodi :
Teknologi Pembelajaran Pascasarjana Untirta
Belajar
pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di
sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagi proses yang diarahkan kepada
tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan
proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu (Sudjana, 1989). Dalam suatu
proses belajar, seorang individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk
memahami dan mengalami sesuatu yang nantinya akan menjadi sebuah pengetahuan
bagi individu tersebut. Hal ini berarti, seorang individu belajar melalui
proses pemahaman dan pengalaman.
Pembelajaran
merupakan suatu proses terjadinya komunikasi dan interaksi antara pengajar dan
pembelajar, dalam hal ini guru sebagai pengajar dan siswa sebagai pembelajar
untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yang
disebut sebagai tujuan pembelajaran. Dalam proses ini terjadi transfer
ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa. Melalui transfer ilmu pengetahuan
tersebut diharapkan siswa dapat membekali diri untuk berinteraksi dengan
lingkungannya dan bermanfaat dalam penerapan kehidupan sehari-hari.Proses
pencapaian tujuan pembelajaran melalui suatu siklus yaitu conceptual understanding,
conceptual changing, dan behavior changing.
Dalam proses pembelajaran, siswa mempelajari
dan memahami suatu pengetahuan baru baginya yang ia dapatkan dari hasil
initeraksidan komunikasinya dengan lingkungannya. Hal inilah yang disebut
dengan conceptual understanding, dimana siswa atau seseorang dalam proses
pembelajarannya mendapatkan pengetahuan
yang baru.
Siklus yang berikutnya terjadi adalah
conceptual changing, dimana setelah mendapatkan pengetahuan baru, siswa atau
seseorang tersebut akan mengalami penambahan pengetahuan. Penambahan
pengetahuan tersebut akan berpengaruh terhadap cara berpikirnya. Siswa atau
seseorang tersebut akan memiliki cara berpikir yang berbeda dengan sebelumnya.
Hal ini disebut dengan conceptual changing.
Siklus yang terakhir terjadi dalam
proses pembelajaran adalah behavior changing. Setelah siswa mendapatkan dan
memahami pengetahuan baru yang kemudian mengubah pemahamannya dan menambah
pengetahuan yang telah dimilikinya, maka hal yang terjadi kemuadian adalah
perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini terjadi karena siswa atau seseorang
tersebut telah mengubah cara berpikirnya. Sebagai contoh kasus, seorang anak
mendapatkan pengetahuan bahwa membuang sampah sembarangan akan mengakibatkan
banyak hal buruk, di antaranya penyebaran kuman penyakit oleh lalat, dan
banjir. Dari pengetahuan yang baru didapatnya, anak tersebut secara otomatis
mengubah cara berpikirnya, yaitu timbul kesadaran untuk tidak membuang sampah
sembarangan. Dengan berubahnya cara
berpikir anak tersebut, maka berubah pula prilakunya dalam hal membuang sampah.
Anak tersebut tidak lagi membuang sampah sembarangan.
Tercapainya tujuan pembelajaran tidak
dapat dilepaskan dari peran pemahaman dan aplikasi psikologi pendidikan. Barlow mendefinisikan psikologi
pendidikan sebagai “a body of knowledge grounded in psychological research
which provides a repertoire of resource to aid you in functioning more
effectively in teaching learning process.” Menurut Barlow, psikologi pendidikan adalah sebuah pengetahuan berdasarkan riset
psikologis yang menyediakan serangkaian sumber-sumber untuk membantu anda
melaksanakan tugas-tugas seorang guru dalam proses belajar mengajar secara
efektif. Pernyataan Barlow ini menyiratkan bahwa dalam proses pembelajaran
tidak hanya terjadi transfer ilmu saja, tetapi juga terjadi interaksi sehingga
guru sebagai pendidik perlu dibekali pemahaman tentang psikologi untuk
memudahkan terjadinya transfer ilmu dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan
teori tersebut, maka guru harus mampu melayani dan memfasilitasi secara tepat
sesuai dengan tingkat perkembangan dan perbedaan karakteristik siswa. Terdapat
banyak faktor yang harus diperhatikan antara lain yang mencakup tingkat
perkembangan intelektual; sensitifitas pada usianya; previous, basic, dan
background knowledge of learners (latar belakang pengetahuan, pengetahuan dasar
dan penguasaan pengetahuan sebelumnya dari siswa); teaching and learning
moments (momen belajar mengajar); scope and sequence of the teaching/learning
materials (cakupan dan urutan materi pembelajaran); the specific
moment/situation when the teaching materials offered (situasi tertentu pada
saat materi pembelajaran disampaikan); instructional strategies used (strategi
pembelajaran yang digunakan); termasuk the acceptability of the teacher by
learners (keterterimaan guru oleh siswa); dan teacher’s personality in teaching
and learning process (kepribadian guru dalam proses belajar mengajar).
Tingkat
Perkembangan Intelektual dan Sensitivitas pada Usianya
Intelegensi adalah suatu keahlian
memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari
pengalaman hidup sehari-hari. Dimana minat terhadap intelegensi seringkali
difokuskan pada perbedaan individual dan penilaian individual (Kaufman &
Lictenberger,2002; Lubinski, 2000; Molfse & Martin, 2001).
Dalam proses pembelajaran, seorang
guru harus memahami siswa yang dihadapinya agar terjadi interaksi yang baik.
Setelah interaksi dan komunikasi terjalin dengan baik, maka diharapkan tujuan pembelajaran pun akan
tercapai dengan mudah. Siswa dengan usia yang berbeda memiliki tingkat kecerdasan
berbeda. Hal ini adalah salah satu bekal yang harus dimiliki oleh seorang guru
sebelum melakukan proses pembelajaran.
Jean Piaget melakukan penelitian
terhadap perkembangan intelektual anak sejak ;lahir hingga dewasa, yang
menghasilkan pembagian perkembangan intelegensi menjadi empat tahap, yaitu:
1.
Tahap Sensorik-Motorik
Tahap
sensorik-motorik dimulai pada saat usia 0 – 2 tahun, yangterlihat pada bayi
yang mulai menampilkan prilaku reflektif, dengan melibatkan prilaku yang
inteligen. Prilaku seorang bayi sangat mengandalkan gerakan refleksinya. Kemudian,
dua bulan kemudian, bayi akan mulai belajar untuk membedakan objek yang ada di
sekitarnya, dimulai dengan menghisap jari dan benda yang ada di dekatnya.
Pada masa
ini, bayi mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka seperti menghisap,
menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul di hadapannya. Piaget
berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman
penting dalam enam sub-tahapan; (a) skema refleks yang berhubungan dengan
refleks; (b) fase reaksi sirkular primer berhubungan dengan munculnya
kebiasaan-kebiasaan; (c) fase reaksi sirkular sekunder berhubungan dengan
koordinasi indera penglihatan dan pemaknaan; (d) koordinasi reaksi sirkular
sekunder berhubungan dengan berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai
sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda jika dilihat dari sudut berbeda;
(e) fase reaksi sirkular tersier berhubungan denga cara-cara baru untuk
mencapai tujuan; (f) awal representasi simbolik berhubungan dengan tahapan awal
kreatifitas.
2.
Tahapan Praoperasional
Tahapan ini
terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Pada masa ini, anak-anak belajar menggunakan
simbol-simbol dan pencitraan batiniah akan tetapi pikiran mereka masih tidak
sistematis dan tidak logis. Pikiran pada masa ini sangat berbeda dengan masa
dewasa. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara
logika tidak memadai. Dalam tahap ini, anak belajar menggunakan dan
mempresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih
bersifat egosentris; anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang
lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
mengumpulkan benda merah walau bentuknya bermacam-macam atau mengumpulkan semua
benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
3.
Tahapan Operasional Konkrit
Tahapan ini
terjadi antara usia 8 – 11 tahun, dimana anak-anak mengembangkan kemampuan
berpikir sistematis, akan tetapi hanya ketika mereka dapat mengacu pada
objek-objek dan aktifitas-aktifitas konkret. Proses-proses penting selama
tahapan ini adalah penggurutan, klasifikasi, decentering, reversibility,
konservasi dan penghilangan sifat egosentrisme.
4.
Tahapan Operasional Formal
Pada usia 11
tahun sampai dewasa, orang muda mengembangkan kemampuan untuk berpikir
sistematis menurut rancangan yang murni abstrak dan hipotesis.
Tahap
operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori
Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas)
dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik dalam tahap ini adalah
diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan
menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang
dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat
segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada “gradasi abu-abu”
di antaranya.
Berdasarkan
tahapan-tahapan perkembangan di atas, maka seorang guru dapat melihat berada
dalam kelompok manakah siswa yang sedang dihadapi dalam proses pembelajaran
yang sedang dipandunya. Dengan mengetahui tingkat kecerdasan siswa secara umum,
maka guru dapat menentukan metode pengajaran apa yang terbaik agaar tujuan
pembelajaran dapat tercapai. Selain itu, guru juga harus mengetahui lebih jauh
tentang tingkat keceerdasan siswa secara individu. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan tingat kecerdasan siswa yang dipengaruhi oleh faktor hereditas dan
lingkungan. Sejalan dengan pemikiran tokoh
Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, yang mengemukakan adanya
faktor yang mempengaruhi perkembangan individu yaitu faktor dasar atau
faktor pembawaan internal, dan faktor ajar atau lingkungan (faktor
eksternal).
Prior, Basic and
Background Knowledge
Istilah background knowledge dan
prior knowledge sering digunakan secara bergantian oleh beberapa ahli. Stevens
(1980) mendefinisikan background knowledge sebagai “...what one already knows
about a subject...” Menurutnya background knowledge adalah apa yang telah
diketahui oleh seseorang tentang suatu subjek. Sementara definisi yang
dikemukakan oleh Biemans & Simons (1996) lebih kompleks “...(background
knowledge is) all knowledge learners have when entering a learning environment
that is potentially relevant for acquiring new knowledge” Biemans & Simons
mendefinisikan background knowledge sebagai seluruh pengetahuan yang dimiliki
oleh seorang pembelajar pada saat memasuki suatu lingkungan pembelajaran yang
memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa prior,
basic and background knowledge atau biasa kita sebut sebagai latar belakang
pengetahuan, pengetahuan dasar, dan pengetahuan sebelumnya, merupakan rangkaian
kekayaan pengetahuan siswa tentang suatu objek pengetahuan sebelum guru
menyampaikan objek pengetahuan tersebut dalam proses pembelajaran.
Siswa belajar sebagian besar dengan
cara membaca. Untuk dapat membaca secara efektif, siswa perlu mengintegrasikan
materi yang baru dibacanya ke dalam pengetahuan yang telah ia miliki, membangun
pemahaman baru, dan mengadaptasikannya dengan konsep yang telah ada. Kemampuan
seperti ini sangat penting untuk mencapai pemahaman teks secara menyeluruh.
Siswa yang memiliki latar belakang pengetahuan yang sedikit, dan mereka yang
tidak mampu mengaktifasi latar belakang pengetahuan mereka akan menghadapi
kesulitan dalam mengakses, berpartisipasi, dan berkembang dalam proses
pembelajaran, dimana kemampuan membaca dan memahami teks merupakan prasyarat
kesuksesan belajar.
Untuk mengantarkan kesuksesan siswa
dalam membaca untuk belajar (read to learn), seorang guru harus mampu memandu
siswa dalam mengaktifasi background knowledge mereka sebelum guru mulai
mengajarkan materi baru. Di sinilah guru harus benar-benar memerankan diri
dalam tahap eksplorasi seperti tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
yang telah dibuatnya. Dalam tahap eksplorasi ini seorang guru harus mampu
mengeksplor atau memunculkan background knowledge siswa sehubungan dengan
materi yang akan diajarkan. Proses ini juga seringkali disebut sebagai
brainstorming.
Dalam tahapan brainstorming, guru
juga harus mampu mendistribusikan background knowledge secara merata kepada
seluruh siswa. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kesulitan siswa dalam
memahami materi yang akan diajarkan. Dengan demikian, diharapkan guru akan
mencapai usaha maksimal dalam membekali siswa dengan background knowledge yang
cukup untuk memahami materi yang akan diajarkan.
Faktor Penentu
Keberhasilan Pembelajaran
Keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran sangat bergantung pada beberapa faktor. Sekitar 90% keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran bergantung pada keterampilan guru dalam mempersiapkan materi
pembelajaran, memilih strategi pembelajaran, peka dalam memahami dan
memanfaatkan teaching and learning moments,kemampuan berimprovisasi dalam
situasi pembelajaran tertentu, dan kemampuan guru dalam membawa diri serta
memunculkan pribadi positif sehingga keterterimaan guru oleh siswa cukup tinggi.
Dalam suatu proses pembelajaran,
seorang guru harus mempersiapkan materi pembelajaran secara cermat. Persiapan
materi pembelajaran ini tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Dalam
RPP tersebut seorang guru harus membuat urutan proses pembelajaran secara
terinci mulai dari penentuan Standar kompetensi sampai rencana bentuk soal
dalam evaluasi. Hal ini untuk menghindarkan hal-hal yang mungkin terlupakan
dalam proses pembelajaran. RPP berfungsi sebagai pemandu dan acuan selama
proses belajar mengajar berlangsung.
Apabila seorang guru tidak membuat
RPP sebagai pedoman dalam proses pembelajaran, maka memungkinkan terjadinya
ketidaksempurnaan dalam penyampaian materi. Bisa saja guru terlupa melakukan brainstrorming
di awal pembelajaran karena ia terlalu asik memberi motivasi pada siswa.
Alokasi waktu yang seharusnya digunakan untuk brainstorming akhirnya habis
digunakan oleh guru untuk memberi motivasi siswa. Dengan adanya RPP juga sangat
membantu guru dalam memberikaanmateri, karena dalam RPP yang lengkap tercantum
pula materi yang lengkap. Selain pencantuman materi yang lengkap, RPP yang baik
juga harus dilengkapi oleh soal-soal latihan dan evaluasi beserta kunci jawaban
dan sistem penilaian. Hal ini menghindarkan guru dari kesulitan dalam pemberian
latihan dan evaluasi.
Seorang guru
juga harus mampu menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk menyampaikan
materi yang akan diajarkan. T Raka Roni (1983) berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan strategi pembelajaran adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
memberikan suasana yang konduktif kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran. Sedangkan Gerlach dan Elly (1989) menyatakan bahwa strategi
adalah suatu cara yang terpilih untuk menyampaikan pembelajaran dalam
lingkungan pembelajaran tertentu. Definisi yang lain menyebutkan bahwa strategi
adalah suatu garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran
yang telah ditentukan (Djamarah dan Zain, 2002). Dengan demikian, pengertian
strategi dalam pembelajaran adalah suatu prosedur yang digunakan oleh guru
dalam proses pembelajaran sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan. Strategi
pembelajaran sebagi pola kegiatan pembelajaran yang dipilih dan digunakan guru
secara kontekstual sesuai dengan karakteristik siswa, kondisi sekolah,
lingkungan serta tujuan khusus pembelajaran yang diinginkan.
Strategi
pembelajaran pada dasarnya bertolak dari keaktifan guru atau siswa. Di satu
sisi ada strategi yang menekankan keaktifan guru atau strategi guru aktif
(pembelajaran ekspositori) dan strategi yang menekankan keaktifan siswa atau
strategi siswa aktif (pembelajaran discovery).
Pembelajaran dengan pendekatan
ekspositori merupaka suatu pembelajaran yang menekankan pada interaksi guru
dengan siswa. Dalam pendekatan ini terjadi komunikasi satu arah, yaitu dari
guru ke siswa sehingga guru jauh lebiih aktif dari pada siswa. Guru banyak
berbicara untuk menginformasikan bahan ajar pada siswa, sementara siswa menjadi
objek. Pembelajaran discovery menunjukkan pembelajaran siswa aktif.
Pembelajaran ini ditandai dengan komunikasi multi arah. Siswa adalah subjek
belajar.
Dalam strategi pembelajaran siswa
aktif, terdapat beberapa strategi atau model pembelajaran yang bisa diterapkan,
antara lain: Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning),
model pembeljaran kooperatif (Cooperative Learning), model pembelajaran tuntas
(Mastery Learning), model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based
Learning), pembelajaran berdasarkan proyek (Project Based Learning), model
pembelajaran berdasarkan komputer (Computer Based Instruction) dan model
pembelajaran tematik (Thematic Learning).
Ragam lain tentang strategi
pembelajaran dicontohkan oleh Wina Sanjaya (2008). Ragam tersebut meliputi
Strategi Pembelajaran berbasis masalah, atrategi pembelejaran meninghkatkan
kemampuan berpikir, strategi pembelajaran kooperatif, strategi pembelajaran
kontekstual dan strategi pembelajaran afektif.
Contextual
Teaching Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada
keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga
peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar
dengan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
meupakan konsepsi yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan.
Cooperative
learning dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika
siswa mengikuti pembelajaran. Siswa lebih banyak belajar melalui proses
pembentukan (constructing) dan penciptaan, kerja dengan tim, dan berbagi
pengetahuan sesama siswa. Walau pun begitu, tanggung jawab individual tetap
merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.
Pembelajaran
tuntas merupakan sistem pembelajaran yang mengharapkan setiap siswa mampu
menguasai kompetensi-kompetensi dasar (basic learning objectives) secara
tuntas. Berpegang pada prinsip: jika setiap siswa diberikan waktu yang cukup sesuai
dengan kecepatan belajarnya, dan yang bersangkutan menggunakan waktu dengan
baik, maka besar kemungkinan siswa akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi
yang ditentukan. Sebaliknya, jika siswa tidak diberi cukup waktu atau yang
bersangkutan tidak menggunakan waktu yang disediakan, maka tingkat penguasaan
kompetensi juga tidak akan optimal.
Problem
based learning adalah pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai materi
pembelajaran bagi siswa, sehingga siswa dapat belajar berpikir kritis dan
teraampil memecahkan berbagai masalah untuk memperoleh konsep atau pengetahuan
yang esensial. Problem based learning disepadankan dengan project based
learning. Problem based learning menekankan pada kegiatan perumusan masalah, pengumpulan
data, dan analisis data. Sedangkan pada project based learning menekankan pada
kegiatan perumusan pekerjaan , merancang, melaksanakan pekerjaan, dan
mengevaluasi hasil kerja. Kedua model tersebut menekankan pada lingkungan siswa
aktif, kerja tim, dan teknik evaluasi otentik/bermakna.
Role play
merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan
masalah yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (interpersonal
relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik. Pengalaman
belajar yang diperoleh dari metode role play adalah kemampuan kerjasama,
komunikatif, dan menginterpretasikan suatu kejadian.
Pembelajaran
partisipatif merupakan model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara
aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. E. Mulyasa
(2003) menyebutkan indikator pembelajaran partisipatif yang melipuuti adanya
keterlibatan emosional dan mental peserta didik, adanya kesediaan peserta didik
untuk memberkan kontribusi dalam pencapaian tujuan, serta dalam kegiatan belajar
mengajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pembelajaran
inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu secara sistematis,
kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya
dengan penuh percaya diri.
Teachable Moments
Berdasarkan
definisi dari Wikipedia, teachable moments adalah waktu dimana seseorang bisa mempelajari suatu topik dengan
sangat mudah. Konsep ini dipopulerkan oleh Robert Havighurst dalam bukunya
Human Development and Eucation dalam konteks teori pendidikan mengatakan,
“tugas pertumbuhan adalah tugas yang dipelajari pada poin tertentu dan yangmembuat
suksesnya pencapaian memungkinkan. Ketika timingnya tepat, kemampuan
mempelajari suatu tugas menjadi memungkinkan. Hal ini disebut “teachable
moment”. Perlu diingat bahwa pembelajaran tidak akan terjadi bila waktunya
tidak tepat. Karenanya, perlu dilakukan pengulangan terus menerus terhadap
poin-poin penting setiap saat, sehingga ketika teachable moment seorang siswa
terjadi, ia dapat memanfaatkannya dengan baik.”
Dari
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa guru perlu melakukan pengulangan
terhadap materi-materi yang dianggap penting karena guru tidak pernah
mengetahui kapan teachablemoment siswanya datang. Dengan pengulangan terus
menerus diharapkan siswa dapat memahami materi tersebut bila teachable moment
tersebut datang bertepatan dengan saat pengulangan terjadi.
Teacher
Acceptability
Salah satu pemicu motivasi belajar
siswa adalah guru. Guru yang mampu membuat siswa termotivasi akan mampu
mengantarkan siswa tersebut berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Seorang guru
harus mampu membawa diri dengan sifat-sifat positif dan mampu menilaikan
nilai-nilai positif kepada siswanya. Dengan demikian siswa akan dipengaruhi
oleh aura positif tersebut sehingga akan termotivasi pada akhirnya. Pada
keadaan seperti ini dikatakan keterterimaan guru oleh siswa cukup tinggi.
Banyak anak yang tidak bagus
belajarnya di sekolah punya hubungan yang negatif dengan guru mereka. Mereka
seringkali mengalami masalah, misalnya tidak mengerjakan tugas, tidak
memperhatikan, atau karena bikin onar. Dalam banyak kasus, mereka pantas
ditegur dan dihukum, akan tetapi seringkali situasi kelas menjadi sangat tidak
menyenangkan bagi mereka.
Nel Nodding (1992, 1998, 2002) percaya bahwa siswa kemungkinan besar akan
berkembang menjadi manusia yang kompeten apabila mereka merasa diperhatikan.
Karenanya guru harus mengenal siswa dengan baik. Dia percaya bahwa keadaan
seperti itu sulit diwujudkan di sekolah besar dengan siswa yang jumlahnya
banyak di setiap kelasnya.
Siswa yang merasa punya guru yang suportif dan perhatian akan lebih
termotivasi untuk belajar dibandingkan dengan mereka yang merasa mempunyai guru
yang tidak suportif dan tidak perhatian. Motivasi siswa akan bertambah jika
guru memberinya tugas yang menantang dalam lingkungan yang mendukung proses
penguasaan materi. Guru mesti memberi dukungan emosional dan kognitif, memberi
materi yang berarti dan menarik untuk dipelajari dan dikuasainya, dan memberi
dukungan yang cukup bagi terciptanya kemandirian dan inisiatif siswa. Kecakapan
diri (slf efficacy), motivasi dan iklim sekolah akan sangat mempengaruhi
motivasi prestasi siswa. Sekolah dengan ekspektasi tinggi dan standar akademik
yang tinggi, serta dukungan emosional dan akademik yang memadai, sringkali
membuat siswa termotivasi untuk berprestasi.
Seorang guru yang memotivasi dengan memberi perhatian berusaha membuat
kelas menjadi menarik, mengajar dengan cara yang spesial. Guru juga harus mampu
berkomunikasi dengan baik dengan siswanya. Guru harus mampu bicara kepada siswa
dengan baik, membei perhatian, mengajukan pertanyaan dan menjadi pendengar yang
baik bagi siswanya.
Guru yang mampu memotivasi siswa harus mampu berprilaku adil dan respek.
Guru harus mampu bersikap jujur dan adil, menepati janji, membuat siswa merasa
dipercaya dan memberi tahu kebenaran pada siswanya.
Wujud perhatian guru juga dapat diwujudkan dengan perhatian kepada
masing-masing individu. Caranya bisa dengan bertanya jika ada sesuatu yang
tidak beres, bicara kepada siswa mengenai problem siswa, mampu bersikap
layaknya teman, bertanya saat siswa membutuhkan bantuan, dan bisa meluangkan
waktu untuk memahami dan berbicara dengan siswa.
Dari paparan yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa berperan
penting dalam proses belajar mengajar. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana
seorang guru harus sangat memperhatikan siswa dan mempersiapkan proses belajar meengajar dengan baik. Guru
harus memahami kondisi dan latar belakang siswanya untuk mengantarkan siswanya
mencapai tujuan pembelajaran dengan baik. Beberapa hal yang harus diperhatikan
guru dalam mempersiapkan proses pembelajaran adalah tingkat perkembangan
intelektual siswa, prior and background knowledge, teaching and learning
moments, teaching materials, instructional strategies used, dan tidak kalah
pentingnya teacher acceptance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar