Modul 1.4 Tahapan elaborasi dan koneksi antar materi
Pada tahapan ini, saya berharap dapat mendemonstrasikan pemahaman secara lebih mendalam mengenai konsep-konsep inti dalam modul budaya positif. Selain itu, saya berharap dapat memahami keterkaitan konsep budaya positif dengan materi pada modul 1.1, 1.2 dan 1.3, serta dapat menyusun langkah dan strategi yang lebih efektif, konkret, dan realistis untuk mewujudkan budaya positif di sekolah.
Pada tahapan elaborasi, saya mendapatkan penguatan dari instruktur dan para calon guru penggerak lainnya tentang bagaimana mendemonstrasikan pemahaman secara lebih mendalam mengenai konsep-konsep inti dalam modul budaya positif. Sedangkan pada tahapan koneksi antar materi, saya mencoba meninjau ulang kembali keseluruhan materi pembelajaran di paket modul 1 dan membuat sebuah koneksi antar materi yang sudah saya pelajari.
Modul 1 tentang paradigma dan visi guru penggerak memberikan pemahaman tentang filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, nilai dan peran guru penggerak, visi guru penggerak dan budaya positif.
Pada bagian budaya positif, saya mendapatkan pemahaman tentang:
1. Disiplin positif dan nilai-nilai kebajikan universal
2. Teori motivasi, hukuman dan penghargaan
4. Kebutuhan dasar manusia dan dunia berkualitas
5. Restitusi - lima posisi kontrol
Setelah mempelajari secara keseluruhan materi modul 1, saya dapat menyimpulkan bahwa semua materi adalah satu kesatuan yang utuh untuk dipelajari karena saling terkait untuk mendukung pemahaman kita dalam mewujudkan seorang guru yang mampu memfasilitasi seluruh murid di sekolahnya untuk meningkatkan kompetensi dengan aman dan nyaman (well-being student). Hal ini akan terwujud jika komunitas sekolah bersama-sama mengembangkan dan mewujudkan VISI sekolah yang berpihak pada murid dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan. Salah satu caranya adalah dengan mewujudkan budaya positif di sekolah.
Hal yang paling menarik dan diluar dugaan saat mengekplorasi materi budaya positif adalah tentang hukuman dan penghargaan. Selama ini, saya mengetahui bahwa hukuman (punishment) dan penghargaan (reward) adalah cara yang efektif dalam mendisiplinkan murid. Secara alami, kita akan cenderung melakukan perilaku yang sama jika perilaku tersebut akan mendapatkan hal yang menyenangkan atau dapat memenuhi kebutuhan yang kita inginkan saat itu (reward). Sebaliknya, jika perilaku tersebut membuat hal yang tidak menyenangkan (punishment) maka kita akan menghentikan perilaku tersebut. Tetapi ternyata, setelah mempelajari modul 1.4 tentang budaya positif, hukuman dan penghargaan hanya dapat memberikan pengaruh pada jangka waktu tertentu saja dan perlu pengawasan secara terus menerus dan akan menimbulkan dampak yang kurang baik untuk murid terutama hukuman.
Saya juga merasa miskonsepsi tentang hukuman dan penghargaan dapat mengontrol perilaku murid, ternyata kita sebagai guru tidak dapat mengontrol perilaku murid. Murid mengikuti aturan yang kita buat karena dia menyerahkan kontrol dirinya kepada kita. Pada umumnya, murid berperilaku sesuai aturan karena menghindari ketidaknyaman atau hukuman yang akan mereka dapatkan atau mengharapkan suatu penghargaan.
Ketika saya mengamati penerapan disiplin di sekolah, setiap terjadi pelanggaran ternyata guru-guru menerapkan disiplin dengan hukuman dan konsekuensi. Guru piket akan langsung memberikan hukuman membersihkan lingkungan sekolah bagi murid yang terlambat. Guru-guru lainnya akan memberikan poin sebagai bentuk konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan murid.
Setelah memahami tentang budaya positif, saya juga mulai memahami perbedaan dari peraturan dan keyakinan kelas. Perubahan cara berpikir yang saya alami ini, saya implementasikan dalam menciptakan budaya positif di kelas dengan cara mendorong murid untuk menggali nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam setiap aturan di sekolah khususnya di kelas sehingga menimbulkan keyakinan bahwa hal itu sangat penting untuk dilakukan. Saat aturan berubah menjadi keyakinan maka motivasi intrinsik murid akan tumbuh untuk melakukan budaya positif di kelas. Jadi hal pertama yang saya lakukan di kelas sebagai implementasi pemahaman tentang budaya positif adalah membuat keyakinan kelas.
Pengalaman saat membuat keyakinan kelas ternyata sebagian murid-murid di kelas merasa kesulitan menggali nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam aturan yang sudah ada di kelas kemudian dirumuskan menjadi suatu keyakinan. Seberapa besar keyakinan tersebut ada dalam hati setiap murid akan terlihat dari perilaku mereka, jangan sampai keyakinan yang telah dirumuskan hanya bernilai sama dengan aturan sebelumnya sehingga murid tetap melakukan pelanggaran.
Saat terjadi pelanggaran, saya masih memposisikan diri sebagai pemantau. Saya akan menanyakan konsekuensi apa yang mereka dapatkan saat melakukan pelanggaran. Padahal saat kita dapat memposisikan diri sebagai manager maka murid akan lebih berefleksi akan perilakunya. Hal ini dapat menguatkan motivasi intrinsik dan nilai-nilai kebajikannya.
Saya belum terbiasa melakukan proses restitusi atau menempatkan posisi sebagai manger, murid juga belum terbiasa berada dalam proses tersebut. Mereka cenderung diam dan enggan mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran mereka karena terbiasa mencari aman akibat dari terbiasanya mendapatkan hukuman atau konsekuensi saat pelanggaran. Jadi, proses restitusi perlu dilakukan secara perlahan dan berkelanjutan dan sesuai dengan permasalahan yang ditangani. Namun, ketika saya mencoba melakukan restitusi walaupun hanya dibagian menstabilkan identitas dan validasi tindakan, murid merasa lebih nyaman karena mereka mendapatkan kesempatan untuk meyakini perilaku mereka baik atau tidak. Jadi mereka mampu mendeskripsikan dirinya akan menjadi seperti apa. Hal yang saya lakukan dalam proses restitusi saat murid melakukan pelanggaran adalah menanyakan alasan perilakunya dan menanyakan apakah perilaku tersebut menurut mereka baik atau salah. Jika memungkinkan, guru dapat mendorong murid untuk menghubungkan keyakinannya dengan keyakinan kelas atau sekolah.
Selain konsep-konsep tentang budaya positif, hal penting yang perlu dipelajari oleh guru dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah adalah pengendalian emosi. Guru harus memahami tentang kompetensi sosial dan emosional agar dapat melaksanakan restitusi dengan baik. Kegiatan penerapan disiplin sangat menbutuhkan kesabaran maka guru hendaknya mempunyai kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab agar komunikasi dengan murid menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.
Selain merefleksikan pengalaman belajar tentang modul 1 khususnya modul 1.4 tentang budaya positif, saya menyusun langkah dan strategi yang lebih efektif, konkret, dan realistis untuk mewujudkan budaya di sekolah sebagai rancangan tindakan aksi nyata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar